Sering saya melihat lulusan perguruan tinggi bingung ketika lulus. Pertanyaan meneror pikirannya. Mau kemana? Kerja apa? Saya kadang mikir, kok bisa ya perguruan tinggi melahirkan lulusan bingung? Apa yang salah? Jika melahirkan lulusan bingung, sebenarnya keberadaan perguruan tinggi buat apa?
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik 2010 lalu, masih sekitar 7,14 persen atau sekitar 8,3 juta orang dari 116,5 juta angkatan kerja yang menganggur. Masih ada 30 persen tenaga kerja Indonesia yang belum terserap oleh pasar kerja, utamanya lulusan perguruan tinggi yang terus bertambah setiap tahun (kompas.com, 10/2).
Data di atas menyesakkan dada. Perguruan tinggi telah menjadi lokus pembelajar kerdil. Kerdil dalam menciptakan lingkungan penuh semangat untuk belajar. Kerdil membangun mental kemandirian mahasiswanya. Kerdil untuk membaca peluang lapangan kerja di luar yang disediakan negara dan dunia industri. Atau kerennya menjadi entrepreneur.
Coba lihat sangat banyak lulusan perguruan tinggi yang menaruh cita-cita setinggi langit; MAU MENJADI PEGAWAI NEGER SIPIL (PNS). Cita-cita itu hanya satu-satunya. Cita yang lain dipilih kalau terpaksa. Maka berbarislah lulusan perguruan tinggi dalam deretan panjang pengharap pegawai negeri. Ia mengadu nasib menjadi dua pegawai negeri terpilih dari 1.000 orang pelamar. Tak heran, jika gagal, coba lagi. Seperti teman saya tak kapok-kapok tes CPNS sampai 7 kali, meski tetap tidak lulus.
Apakah ada yang salah dalam kampus kita? Tak mudah menjawabnya. Tak mudah juga menuduhnya. Jika ada jawaban dan tuduhan anggap saja sebagaian bagian dari mimpi bahwa perguruan tinggi sejatinya tak mencetak lulusan bingung.
Ijinkan saya di sini ikut rembuk. Saya mencatat ada beberapa hal yang membuat mahasiswa bingung paska lulus. Catatan itu antara lain :
- Ideologi pendidikan kampus telah tersandera kepentingan industri. Lulusannya diharapkan mengisi struktur lapangan kerja yang sudah disediakan oleh negara dan dunia industri. Sampai di sini kita tidak perlu bertanya tentang makna pembebasan dalam pendidikan. Karena pendidikan sudah sangat tergantung kepada kepentingan yang pada titik tertentu begitu perkasanya. Maka tak salah jika lulusannya rame-rame berderet untuk memasuki struktur yang sudah disediakan itu.
- By design kurikulum yang dipelajari di kampus dirancang untuk kepentingan ideologi di atas. Maka yang dipelajari semua sangat abstrak. Tak menyentuh konteks sosial-budaya masyarakatnya. Jadi wajar jika mahasiswa yang baru lulus ketika keluar dari kampus seperti mahkluk asing. Ia kehilangan basis budayanya sebagai sumber inspirasi untuk bisa menjadi mandiri.
- Implikasinya ketika ideologi pendidikan sudah dirancang untuk kepentingan industri, para mahasiswa dibekuk pikirannya untuk tidak keluar dari “kotak” atau “batas” yang sudah disediakan. Maka mahasiswa terbiasa berpikir di “zona nyaman”. Ia sulit berfikir out of the box. Keluar dari kotak dan mengeksplorasi pikiran-pikiran cerdas sepertinya sulit dilakukan mahasiswa.
- Virus ketergesaan (gaya hidup instan) sudah menyerang kampus. Satu contoh, semester pendek dirancang untuk memberikan pelayanan cepat kepada mahasiswa yang kebetulan tidak lulus di semester tertentu. Dengan adanya semester pendek si mahasiswa tidak perlu bersabar menunggu tahun depan. Jika tidak lulus langsung ikut semester pendek ketika liburan asal punya uang. Jadi semua mahasiwa tergesa-gesa untuk cepat lulus. Cuma ada satu yang hilang, mahasiswa tidak mengalami kedalaman belajar di kampus karena setiap hari diteror “keburu selesai”. Jadi wajar juga, jika sikap ketergesaan ini pada akhirnya membuat mahasiswa kebingungan ketika lulus.
Mungkin banyak penyebab lain tetapi saya hanya mampu mencatat empat. Tetapi yang empat di atas dalam pandangan saya turut membentuk hilangnya semangat kewirausahaan di perguruan tinggi.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
- Perguruan tinggi seharusnya perlu merumuskan kembali ideologi pendidikannya. Ideologi pendidikan harus disambungkan dengan semangat kewirausahaan. Tentu hal ini bukan pekerjaan instan. Karena kultur bangsa kita lebih menghargai lulusan yang bekerja di birokrasi dan (belakangan) di dunia industri. Kultur ini mengakar kuat dalam alam bawah sadar bangsa kita sebagai bangsa yang beratus-ratus tahun berada dalam cengkeraman penjajahan
- Karena kewirausahaan membutuhkan pikiran-pikiran cerdas dan kreatif, maka sangat diperlukan bagi perguruan tinggi untuk menyediakan lingkungan, melembagakan, dan mentradisikan munculnya pikiran-pikiran cerdas dan kreatif. Pikiran-pikiran cerdas dan kreatif tentu saja melampaui dari sekedar kecerdasan akademik yang wujud angka-angkanya ada dalam selembar kertas IP.
- Perguruan tinggi perlu membangun network dengan lembaga-lembaga kewiraswastaan yang sevisi. Jika jejaring ini terbangun dengan solid akan memberi warna bagi proses pendidikan kewirausaahaan di perguran tinggi dan akan menjadi saluran semangat kewiraswastaan mahasiswa paska lulus dari perguruan tinggi.
- Perguruan tinggi seharusnya menghargai mahasiswanya yang sudah memulai wiraswasta sambil kuliah. Kalau perlu, perguruan tinggi memfasilitasi berdirinya organisasi intra bagi mahasiswa yang sudah berwiraswasta. Organisasi itu setara dengan organisasi intra lainnya yang juga memperoleh hak budgeting dari peguruan tinggi. Dengan demikian, wiraswastawan mahasiswa merasa dihargai oleh pihak kampus ketimbang dianggap pemalas karena sering absen.
Itulah sekelumit yang bisa saya sumbang. Semoga kampus ke depan tidak lagi melahirkan lulusan bingung.