KOMPAS.com - Sebagian siswa mungkin belum mengenal dan memahami sistem kredit semester (SKS) yang umum digunakan mahasiswa. Sejak 2007 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional menerapkan SKS pada tingkatan sekolah menengah atas, termasuk di sekolah kami, SMA Negeri 78 Jakarta Barat.
SKS enggak bikin tertekan. Tapi, kadang membuat bosan karena pelajaran selama seminggu itu-itu saja.
-- Yulistian Nugraha
Di SMAN 78, setiap murid wajib mengambil 20 SKS untuk jumlah minimal. Bila kemampuan siswa dalam belajar dinilai cukup, dia berhak mengambil 4 SKS tambahan, menjadi 24 SKS (untuk kelas reguler), bahkan 30 SKS (kelas siswa cerdas, istimewa, setara akselerasi). Untuk memudahkan siswa memilih, mata pelajaran dimasukkan ke paket pelajaran yang keseimbangan kurikulumnya telah dipertimbangkan oleh dewan guru.
Tertekan dan terbebani
SMAN 78 menjadi sekolah percobaan pertama yang menerapkan SKS dari semua SMA di Jakarta. Jadi, masih ada kekurangan yang dirasakan siswa meski sebenarnya SKS bertujuan mempercepat proses belajar.
Contohnya, masalah beban belajar. Kalau biasanya pelajaran Matematika di sekolah yang belum menggunakan SKS diajarkan di setiap semester dalam 3 tahun, di SMAN 78 pelajaran ini (Matematika biasanya diselesaikan dalam 6 semester) diwajibkan selesai dalam 4 semester.
Penjurusan menuju kelas IPA atau IPS pun dilaksanakan pada semester II di kelas 10. Ini berarti beban belajar dalam setahun masa kelas 10 diwajibkan tuntas hanya dalam 6 bulan. Berat juga, ya?
Akibat perubahan cara belajar itu, tak jarang siswa merasa terbebani dan tertekan. Aisyah Kurnia Utami (Ami) dan Alsafwa Rizki Zumara (Alsa), siswa kelas 10, mengatakan, mereka sempat merasa stres saat menjalani semester I di SMAN 78.
"Stres karena sistem belajar di SMP sama SMA beda. Di SMA semua pelajaran lebih spesifik. Di SMAN 78 waktu belajarnya lebih singkat karena penjurusan dimulai di semester II," tutur Ami dan Alsa sependapat.
Alsa bahkan sampai menangis saat mendapat tugas "menggunung" dari guru.
"Aku nangis gara-gara waktu itu sampai pusing ngerjain tugas. Belum lagi nilai yang ancur-ancuran," ujarnya.
Pengalaman Ami dan Alsa berbeda dengan Yulistian Nugraha (Tian). Ia telah merasakan sistem belajar ini selama hampir 3 tahun. Ia bisa beradaptasi.
"SKS enggak bikin tertekan. Tapi, kadang membuat bosan karena pelajaran selama seminggu itu-itu saja," katanya.
Tak selamanya buruk
Berarti, tak selamanya SKS buruk ya? Benar sekali! SKS juga punya sisi positif jika siswa bisa mengesampingkan rasa tertekannya.
Billymansyah contohnya, siswa SMAN 78 kelas 10 ini dengan mantap mengatakan, ia memilih belajar di sekolah dengan sistem SKS daripada sekolah bersistem belajar biasa.
"Soalnya enak. Kalau pakai SKS, enggak ada yang namanya enggak naik kelas. Kalau ada pelajaran yang enggak lulus, bisa langsung diklinik (diperbaiki dengan jam tambahan belajar) di semester berikutnya," ujar Billy.
Dengan SKS, siswa juga lebih fokus. Audi dari SMA Negeri 65 Jakarta Barat mengatakan, "Pelajaran yang diujikan di UTS dan UAS jadi lebih sedikit walaupun bahan pelajarannya banyak. Lebih enak, soalnya kita bisa fokus sama pelajaran. Kalau sistem biasa kan jumlah mata pelajarannya banyak banget. Jadi kita enggak fokus."
Terkait hal itu, Bapak Nursyamsudin, Wakil Bidang Hubungan Masyarakat SMAN 78, menjelaskan, tak seharusnya SKS membuat murid tertekan. Menurut dia, kedisiplinan belajar sangat memengaruhi kesuksesan siswa.
"Kalau masalah beban belajar lebih banyak, karena kalian juga diberi waktu lebih banyak dibandingkan sekolah lain yang belum menggunakan SKS. Makanya, harus benar-benar rajin biar enggak ketinggalan pelajaran karena guru tak bisa menjelaskan semua bahan pelajaran secara detail dalam 2 jam pelajaran di kelas. Jadi, harus ada inisiatif siswa untuk belajar lagi di rumah," tuturnya.
Nah, sudah terbayang kan bagaimana cara kerja SKS serta apa keuntungan dan kerugiannya?
Untuk masalah siap atau enggaknya kita dengan SKS, semuanya tergantung diri sendiri. Intinya, semua hal punya kelebihan dan kekurangan. Jika kita bisa memfokuskan diri pada hal positif yang diberikan SKS, kita pasti merasa nyaman dan dapat beradaptasi.
Di Inggris, contohnya, SKS telah diterapkan sejak primary school (SD). Sistem ini terbukti menghasilkan lulusan berkualitas. Apabila suatu saat nanti SKS diterapkan di semua sekolah di Indonesia, diharapkan hal itu memberikan hasil lebih baik bagi generasi penerus bangsa.